Kategori
Artikel

MATEMATIKA? UNTUK APA?

MATEMATIKA? UNTUK APA?

Oleh : Muhammad Irsyad

“Untuk apa sih mempelajari ini?”, barangkali itu adalah reaksi reaksi umum orang- orang ketika mendengar atau bahkan saat mempelajari matematika. Untuk apa kita belajar trigonometri ribet-ribet? Untuk apa kita belajar apa itu nilai mutlak, vektor, peluang, dan lain sebagainya. Barangkali kebanyakan dari kita beranggapan bahwa apa yang penting dari matematika adalah kita bisa melakukan penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian agar kita tidak ditipu orang di pasar, agar kita bisa mengembalikan uang kembalian dengan benar saat kita berjualan, atau mungkin agar kita tidak salah memberikan nominal mahar kepada calon istri kita kalau si doi meminta mahar berupa uang hahaha.

Saya punya pendapat manusia cenderung hanya peduli pada hal-hal yang menguntungkan bagi mereka. Kita ambil contoh mudah, sampah botol barangkali kita anggap hal sepele karena bagi kita itu sampah. Tapi berbeda dengan mereka para pengrajin, mereka peduli dengan sampah botol karena mereka membutuhkannya untuk dijadikan sebagai bahan kerajinan mereka. Barangkali begitu juga dengan matematika, karena merasa kurang membutuhkannya dan merasa mengetahui matematika “tidak menguntungkan” bagi kehidupan kita, kita jadi merasa malas, kurang bersemangat atau bahkan enggan mempelajarinya. Kalaupun mau mempelajarinya, itu hanya sebatas karena tuntutan kurikulum.

Maka dari itu saya akan sedikit membahas untuk apa sih kita mempelajari matematika. Mengutip judul artikel pendek di sampul belakang modul siswa, “kenapa harus ada matematika di antara kita?”. Sampai sekarang, kebanyakan mindset orang tentang matematika adalah menghitung, menghitung dan menghitung. Padahal dasar dari matematika sendiri bukanlah menghitung, melainkan logika. Suherman1 menyatakan logika adalah masa bayi dari matematika dan sebaliknya matematika adalah masa dewasa dari logika. Menurut saya pribadi, apa yang penting dari mempelajari matematika bukanlah bisa menghitung nilai cos, kalkulus, simpangan baku, barisan dan deret, dan sejenisnya. Pola pikir yang terbentuk setelahnya adalah yang lebih penting, yaitu pola pikir matematis. Pola pikir yang saya maksudkan disini adalah lebih kepada kemampuan untuk menemukan pola dalam suatu hal yang tidak berpola (finding harmony in chaos).

Pernahkah kalian melihat susunan angka yang sepertinya tak beraturan, tapi ternyata memiliki pola. Contohnya ada angka 1,1,2,3,5,8,12 yang sepertinya tidak beraturan tapi ternyata memiliki pola dimana sebuah angka merupakan jumlah dua angka sebelumnya yang kemudian dikenal sebagai barisan fibbonaci. Angka 2 merupakan penjumlahan dua angka sebelumnya (1+1), angka 3 merupakan penjumlahan dua angka sebelumnya (1+2), angka 5 merupakan penjumlahan dua angka sebelumnya (2+3) begitu seterusnya. Contoh lain yang barangkali kalian sudah menerapkan pola pikir matematis tapi secara tidak sadar. Kalian ingin pergi ke suatu tempat dan kalian memilih waktu tertentu untuk berangkat. Misalnya kalian memilih berangkat pukul 9 karena kalau jam 8 biasanya jalan macet. Jam 10 banyak razia kendaraan di jalan, jam 11 bakal ada konvoi ibu-ibu dan lain sebagainya. Disini kalian (mungkin secara tidak sadar) sudah menerapkan pola pikir matematis dimana kalian telah menemukan pola untuk pergi ke tempat yang kalian tuju. Itulah matematika, menemukan pola dalam suatu hal yang tidak berpola.

Selain membentuk pola pikir matematis, matematika juga mengajari kita beberapa pola pikir yang menurut saya pribadi sangat berguna bagi kehidupan. Kita tahu di matematika dikenal yang namanya bangun ruang. Bangun ruang disusun dari beberapa bangun datar. Bangun datar disusun dari beberapa garis dan garis selalu dimulai dari satu titik kecil dan sederhana. Disini matematika mengajarkan kita untuk menghargai hal-hal kecil, karena hal- hal besar selalu dimulai dari hal-hal kecil. Jangan sampai kalian sudah belajar matematika tapi masih menganggap remeh pemulung. Ingat, kebersihan lingkungan/kota kalian juga ada andil dari pemulung. Bahkan bisa jadi, kontribusi kalian dalam hal menjaga kebersihan lingkungan/kota kalian lebih kecil daripada pemulung.

Hal lain, sebagaimana kita tahu matematika adalah ilmu yang didasarkan pada kesepakatan2. Hal ini sudah sering juga saya sampaikan di depan kelas. Ingat kesepakatan dan kepastian adalah dua hal yang berbeda. Kesepakatan sendiri tidak selalu pasti. Misalkan ketika saya bicara angka 2 maka itu bisa merupakan hasil 1+1 atau 3-1 atau 4:2 dan lain sebagainya. Bahkan 1+1 tidak mesti hasilnya 2. Bisa jadi 1+1=0 jika kita bicara dalam konteks bilangan biner3. Dalam hal ini matematika mengajarkan bahwa beda belum tentu salah. Pikiran manusia adalah alam yang bebas untuk manusia itu sendiri. Individu satu dengan individu yang lain tidak selalu memiliki pikiran atau perspektif yang sama dalam melihat suatu hal. Matematika mengajarkan kita untuk menghargai perspektif orang meskipun berbeda dengan perspektif kita. Karena tidak selalu yang berbeda itu salah.

Barangkali itu sedikit opini saya pribadi terhadap matematika. Bahwa matematika tidak melulu tentang belajar hitung menghitung. Ada hal lain (lebih dari sekedar hitung menghitung) yang bisa kita ambil dari mempelajari matematika. Kalian boleh untuk setuju dan tidak dilarang untuk tidak setuju terhadap opini saya. Untuk menutup tulisan kali ini, saya mengajak kalian untuk merenung dan bertanya “apa ada hal di dunia ini yang tidak ada unsur matematika?”.


*) Penulis adalah guru mapel Matematika MA Assalafiyyah Mlangi

1 Suherman, E., dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.

2 R. Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia. Jakarta : Departeman Pendidikan Nasional.

3 Sistem penulisan angka dengan menggunakan dua simbol yaitu 0 dan 1.

Kategori
Artikel

PERSATUAN DAN KESATUAN: SENJATA AMPUH PEMERSATU BANGSA

PERSATUAN DAN KESATUAN: SENJATA AMPUH PEMERSATU BANGSA

Bagian Refleksi Peringatan Sumpah Pemuda

Oleh : Kyky Miftakhul Jannah, S.Pd

Kerasnya penjajahan di tanah air membuat Indonesia banjir akan tangisan dan darah karena kehilangan para pahlawannya, satu-satunya harapan dan pengobar semangat kemerdakaan rakyat. Banyak pahlawan kita mati disengat peluru, ditangkap dan dipecut, dipukul sampai mati, diancam, difitnah bahkan, dibuang ke pulau terpencil dengan anggapan bahwa mereka akan kecut dan langsung mengubur cita-cita luhur mereka untuk melihat tanah air yang merdeka. Sebuah potret kekejaman pada rakyat Indonesia oleh penjajah, yang tidak mengenal kemanusiaan dan keadilan, hal ini menjadi catatan hitam sejarah bangsa kita

Perjuangan para pahlawan dalam memerdekakan tanah air Indonesia dari penjajahan dilakukan dengan menyerahkan seluruh kepunyaannya, harta, waktu, harga diri, hati dan jiwa bahkan, nyawanya pun dijadikan nomor terakhir jika itu menyangkut cita-cita luhur bangsa kita untuk tegak dan berdiri sendiri, walau begitu mereka tetap semangat dan tidak pernah menyerah akan cita-cita luhur mereka.

Nasionalisme Indonesia pada hakekatnya ialah suatu gejala baru yang harus dibedakan dari gerakan-gerakan perlawanan sebelumnya terhadap kekuasaan Belanda. Perang Jawa  1825 – 1930 misalnya, pada waktu Pangeran Diponogoro melawan kekuasaan Belanda di Jawa Tengah  selama lima tahun, merupakan suatu gerakan setempat yang mencerminkan ketidakpuasan lokal dan sangat berbeda sifatnya dari arus perlawanan baru  yang muncul abad ke-20. Nasionalisme baru itu adalah hasil imperialisme baru.yang dipandang sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar yang melibatkan banyak bagian tanah jajahan baru yang diciptakan Eropa di Asia dan Afrika pada penghujung abad ke-19.

Secara politik, nasionalisme dimaknai sebagai ideologi yang mencakup prinsip kebebasan, kesatuan, kesamarataan, serta kepribadian selaku orientasi nilai kehidupan kolektif suatu kelompok dalam usahanya merealisasikan tujuan politik, yakni pembentukan dan pelestarian negara nasional. Nasionalisme Indonesia mengalami proses yang sudah dimulai dari perjuangan Kartini menghendaki emansipasi perempuan. Walaupun Kartini sering dikategorikan sebagai pejuang wanita, tetapi sepak terjang Kartini masuk pada fase paling awal pembentukan nasionalisme Indonesia. Kemudian tahap selanjutnya adalah terbentuknya organisasi-organisasi kebangsaan yang menandai bangkitnya kesadaran sebagai bangsa Indonesia.

Rasa kebangsaan ditempa dalam pengalaman bersama melawan penindasan kolonial, namun gagasan-gagasan tentang kebangsaan dan kemudian penciptaan suatu tatanan politik baru–suatu negara modern yang dapat digunakan untuk mengungkapkan gagasan itu, pada dasarnya merupakan konsep baru, yang melampui aspek-aspek negatif dari perjuangan kemerdekaan. Dan ini pun menyangkut penyusunan saluran-saluran baru bagi kekuasaan dalam masyarakat-masyarakat tradisional serta perumusan harapan-harapan baru. Semua ini mempunyai kesamaan-kesamaannya di mana pun di India, di bagian-bagian lain Asia Tenggara dan di Afrika – dan ini sangat berbeda dari gerakan perlawanan araris “ pra-nasionalis “ yang umum terdapat dalam masyarakat Indonesia, atau dari pemberontakan di bawah pemimpin tradisional yang berdasarkan keluhan-keluhan tertentu.

Sebab-sebab nasionalisme abad ke-20 harus dicari pada terganggunya keseimbangan masyarakat-masyarakat tradisional sebagai akibat dari dampak penuh industri modern Eropa. Dengan munculnya kaum cendikiawan baru, rasa tidak puas massa dapat disalurkan dan diorganisasikan ke dalam gerakan-gerakan kekuatan politik yang menentang rezim kolonial, memandang ke depan secara positif untuk membangun suatu negara merdeka yang didasarkan pada nilai-nilai pola-pola tatanan lama tradisional begitu pula lahirnya peristiwa Sumpah Pemuda.

Sumpah pemuda tidak hanya bermakna deklarasi saja, namun menjadi semangat yang membakar perjuangan, konsistensi dan kolaborasi luar biasa bagi bangsa Indonesia sehingga 17 tahun setelahnya Indonesia mencapai kemerdekaan. Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Pattimura, dan banyak lagi pahlawan yang gugur di medan bakti.

Para pemuda Indonesia kemudian sadar, tidak ada gunanya melawan penjajah tanpa persatuan. Para pemuda bersumpah mengakui bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Para pemuda itu memanglah benar-benar pemuda asli yang berusia antara 21-30 tahun.

Menilik kebelakang era Klasik Hindu sudah diikrarkan tentang jiwa persatuan sejak Kerajaan Majapahit. Saat politik ekspansi masa Tribhuwanatunggadewi, yang terdapat pada pada Kitab Pararaton terdapat ungkapan kalimat berbentuk komitmen. Komitemen untuk mempersatukan Nusantara di bawah panji kerajaan Majapahit. Dialah Gajah Mada yang komitmennya dituliskan dalam Pararaton yang terkenal dengan Amukti Palapa (Sumpah Palapa).

Slogan Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi pelecut semangat bersatu diatas perbedaan. Manakah mungkin, Indonesia bersatu jika tidak adanya persatuan dan kesatuan? Apakah mungkin negara bersatu tanda adanya para pahlawan negeri kita yang mengabaikan segala bentuk perbedaan demi kesatuan?

Sumpah pemuda dan sumpah Palapa merupakan dua komitmen yang sama tetapi berbeda. Keduanya memiliki khas. Sumpah Pemuda usaha integrasi (penyatuan) bangsa untuk mengusir koloni Belanda. Sedangkan Sumpah Palapa upaya integrasi dengan cita-cita intervensi.

Dua generasi yang sangat berbeda jauh waktunya, sumpah yang diucapkan demi suatu cita-cita patut kita apresiasi secara positif, landasan filosofi keduanya sama tetapi berbeda.

Kongres Pemuda II digelar dengan tujuan:

(1) Melahirkan cita cita semua perkumpulan pemuda pemuda Indonesia,

(2) Membicarakan beberapa masalah pergerakan pemuda Indonesia; serta

(3) Memperkuat kesadaran kebangsaan dan memperteguh persatuan Indonesia.

Setelah melalui rangkaian kongres selama 2 hari, maka pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 1928, para peserta Kongres Pemuda II bersepakat merumuskan tiga janji yang kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda, yaitu: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Ada beberapa fakta menarik dalam Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda, di antaranya sebagai berikut:

  1. Rapat Pertama Digelar di Lapangan Banteng

Kongres Pemuda II hari pertama, yakni hari Sabtu tanggal 27 Oktober 1928, dilangsungkan di Lapangan Banteng (kini termasuk wilayah Jakarta Pusat), tepatnya di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB). Kongres ini digelar selama 2 hari dengan 3 kali rapat yang dilaksanakan di tiga tempat yang berbeda.

  1. Diikrarkan di Rumah Orang Tionghoa

Peranan anak-anak muda keturunan Tionghoa cukup besar dalam Kongres Pemuda II. Bahkan, gedung tempat dibacakannya Sumpah Pemuda merupakan asrama pelajar milik peranakan Cina bernama Sie Kok Liang. Gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, itu kini diabadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda. Beberapa orang perwakilan pemuda peranakan Tionghoa hadir di Kongres Pemuda II dan turut berikrar mengucapkan Sumpah Pemuda, beberapa di antaranya diketahui bernama Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie, dan lainnya.

  1. Peserta dari Barat & Timur Indonesia

Kongres Pemuda II di Batavia dihadiri oleh para perwakilan organisasi pemuda dari Indonesia bagian barat sampai bagian timur dari berbagai latar belakang. Ada Mohammad Yamin, misalnya, yang datang dari ranah Minangkabau atau Sumatera Barat. Dari belahan timur Indonesia ada Johannes Leimena, kelahiran Ambon, Maluku. Ada pula Raden Katjasungkana dari Madura, atau Cornelis Lefrand Senduk mewakili organisasi pemuda Sulawesi. Bisa dibayangkan, dengan akses transportasi yang belum secanggih dan semudah sekarang, para pemuda dan pemudi itu harus menempuh perjalanan jauh dari daerah asal mereka ke Batavia demi mewujudkan persatuan generasi muda Indonesia.

  1. Lagu ‘Indonesia Raya’ Pertama Kali Dinyanyikan

Dalam Kongres Pemuda II di Batavia pada 28 Oktober 1928, untuk pertama kalinya lagu “Indonesia Raya” diperdengarkan ke khalayak. Wage Rudolf Soepratman memainkan lagu ciptaannya itu di depan peserta kongres dengan gesekan biolanya yang mendayu-dayu. Setelah selesai memainkan “Indonesia Raya” -yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia- para hadirin meminta agar lagu tersebut dinyanyikan. Setelah melalui diskusi, akhirnya “Indonesia Raya” dinyanyikan dengan sedikit perubahan lirik demi keamanan karena kongres diawasi oleh aparat kolonial Hindia Belanda. Kata “merdeka” dalam lirik lagu itu dihilangkan dan diganti dengan kata “mulia. Adapun orang yang pertama kali melantunkan lagu “Indonesia Raya” dalam Kongres Pemuda II itu adalah Dolly Salim yang tidak lain merupakan putri kesayangan Haji Agus Salim.

Kita jangan pernah mewarisi abunya Sumpah Pemuda, tetapi kita harus mewarisi apinya Sumpah Pemuda”

Bung Karno

Begitulah kiranya, refleksi menjadi muda. Menjadi tua itu takdir, tetap merasa muda itu pilihan. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia peran golongan muda memegang peranan yang sangat penting. Beda zaman, berbeda pula tantangan yang dihadapi. Tetapi yang terpenting rasa nasionalisme harus tetap diwujudkan. Generasi muda saat ini adalah generasi yang merasakan dampak akibat perubahan iklim dan masalah keamanan. Jika generasi sekarang sudah menghadapi masalah seperti ini, generasi di masa depan pun pasti menerima masalah yang lebih kompleks.

Rangkaian peristiwa Sumpah Pemuda hingga perjuangan revolusi Indonesia merupakan pertautan mimpi besar dan perjuangan besar, smart ideas dan smart execution, dimana tanpa ada eksekusi yang tepat tidak akan ada perubahan. Pada 93 tahun yang lalu peran kepemimpinan kepemudaan 1928 hingga puncak kemerdekaan di tahun 1945 dapat pula dilaksanakan oleh pemuda masa kini. Kepemimpinan golongan pemuda masa kini sesuai dengan smart ideas adalah dengan memiliki rasa kepekaan terhadap sekitar, yaitu dengan upaya mendeteksi dan menyiapkan keperluan yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Permasalahan yang terkait dengan kedaulatan bidang ekonomi, pangan, ekologi, informasi dan berbagai aspek agar bangsa Indonesia tidak bergantung kepada bangsa lain.

Melalui peran smart execution penerapannyalah yang difokuskan agar menghasilkan performa yang efektif dalam pembangunan. Bentuk upaya yang diwujudkan oleh generasi muda Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan.

Kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan bahasa ke dalam satu negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah disadari oleh para pemuda yang sudah mulai terkotak-kotak dengan organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera dan lain sebagainya. Hal itu kemudian diwujudkan secara nyata dengan menyelenggarakan Sumpah Pemuda pada 1928.


*) Ibu Kyky Miftakhul Jannah, S.Pd adalah Staff Pengajar MA Assalafiyyah Mlangi mapel Sejarah, juga guru Pendamping OSIS Putri

Kategori
Artikel

Memaknai Kembali Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Memaknai Kembali Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Oleh: Lailatus Saadah, S.Hum

Masuknya Islam ke tanah Nusantara hingga berkembang di dataran Jawa tidak lepas dari kehadiran para pembesar Arab hingga Gujarat yang awalnya hanya bertujuan untuk berdagang. Agama yang dibawa para pembesar dan ulama ini bisa dikatakan berhasil mengajak para penduduk asli untuk masuk di dalamnya. Bahkan di tanah Jawa, para ulama yang menyebarkan Islam pertama-tama ini mendapat julukan tersendiri dari penduduk Nusantara yakni “Walisongo”. Meskipun jumlah para ulama yang ikut menyebarkan Islam di tanah Jawa ini lebih dari sembilan, namun masyarakat terlanjur familiar dengan ulama sembilan tersebut. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri), Raden Qasim alias Syarifuddin (Sunan Drajat), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Umar Said alias Raden Said (Sunan Muria).

Pada awal perkembangannya, Islam tidak begitu saja diterima oleh masyarakat Jawa. Islam sempat mendapat sentimen keras dari masyarakat yang mayoritas Hindu ini. Oleh karena itu, Walisongo memiliki cara pendekatan yang unik dalam menyebarkan Islam di wilayah Jawa. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga bahkan menjadikan budaya Jawa sebagai cara pendekatan khusus dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Justru melalui strategi ini banyak masyarakat Jawa yang tertarik untuk masuk Islam.

Hingga kini, budaya Jawa dengan segala macam pertunjukan dan hiburannya masih sering terkait dengan Islam. Bahkan Pigeaud mencatat ada beberapa pertunjukan yang sering diasosiasikan dengan kesalehan Islami, misalnya solawatan. Di dalam solawatan, narasi kehidupan Nabi Muhammad SAW didendangkan oleh kaum laki-laki baik dalam bahasa Arab atau Jawa dengan Iringan terbang (tamborin) tunggal tetapi dalam gaya Jawa. Seiring berkembangnya zaman, kaum hawa pun mulai vokal dalam mendendangkan solawatan baik di lingkungan pesantren maupun di lingkungan masyarakat yang diwadahi lembaga Islam khusus perempuan.

Di Selatan Jawa, perayaan maulid Nabi Muhammad SAW menjadi perayaan besar yang diselenggarakan beberapa hari dan dipimpin langsung oleh ndalem Keraton. Perayaan maulid ini sering disebut dengan sekatenan. Kata sekaten sendiri merupakan bentuk transformasi kalimat “syahadatain” yang diprakarsai oleh Sunan Kalijaga. Syahadatain yang artinya dua kalimat syahadat ini mengacu pada ajakan para Walisongo kepada masyarakat Jawa untuk masuk Islam dengan melafalkan dua kalimat syahadat (syahadat tauhid dan syahadat rasul).

Jika dahulu perayaan sekaten selalu diadakan dengan rangkaian acara besar di pusat alun-alun kota Yogyakarta, saat ini perayaan tersebut ditiadakan menimbang pandemi COVID-19 belum berakhir. Namun perayaan maulid Nabi Muhammad SAW akan selalu mengambil hati umat Islam dimanapun berada, meskipun dirayakan secara individu ataupun kelompok dengan jumlah peserta yang dibatasi. Meskipun begitu, perayaan maulid Nabi Muhammad SAW tetap mampu memompa semangat jiwa kaum muslimin agar selalu mengikuti teladan dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Terlebih lagi membangun semangat umat Islam baik lahir dan batin dalam menghadapi segala cobaan dan ujian di masa pandemi ini.

Asal Muasal Tradisi Peringatan Maulid Nabi

Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pernah didapuk sebagai hari besar Islam di Mesir pada masa Dinasti Fatimiyyah oleh Khalifah Mu’iz li Dinillah tahun 341 Hijriyah. Namun sempat dilarang oleh khalifah-khalifah setelahnya dan diadakan kembali secara besar-besaran pada masa khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630 M. Khalifah Mudhaffar mengadakan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW selama tujuh hari tujuh malam dengan menghidangkan jamuan besar dan mengundang para orator untuk menghidupkan kembali jiwa heroisme kaum muslimin yang pada saat itu sedang berperang melawan kekejaman Jengis Khan dari Mongol. Pada akhirnya semangat kaum muslimin kembali berkobar dalam memerangi pasukan Jengis Khan.

Tidak hanya pada masa Mudhaffar saja, bahwasannya perayaan maulid Nabi Muhammad SAW dijadikan sebagai cambuk semangat kaum muslimin untuk memerangi kekejaman kaum kafir. Pada masa Islam mendapat gempuran bertubi-tubi dari berbagai bangsa Eropa, yakni Prancis, Jerman, dan Inggris atau yang sering disebut dengan Perang Salib, di bawah kekhalifahan Salahuddin dari Bani Abbassiyah. Beliau menghimbau kepada seluruh umat Islam agar memperingati hari lahir Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW ini pun mampu mengobarkan semangat kaum muslimin untuk memerangi kaum kafir dan akhirnya memperoleh kemenangan besar.

Sultan Salahuddin juga menyelenggarakan beberapa kegiatan perayaan menyambut maulid Nabi Muhammad SAW. Salah satu kegiatan tersebut adalah dengan membuat sayembara penulisan riwayat Nabi Muhammad SAW beserta puji-pujian bagi Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan tata bahasa yang baik dan indah. Dalam perlombaan ini nama Syaikh Ja’far al-Barzanji keluar sebagai pemenang sayembara. Hingga kini, karya yang dikenal dengan Kitab Barzanji tersebut sering dibaca dan digaungkan pada pelaksanaan solawatan di masjid-masjid, musola, pesantren, bahkan di pelosok desa pada perayaan maulid Nabi Mauhammad SAW ataupun acara perayaan Islam lainnya.


*) Ibu Lailatus Saadah, S.Hum adalah guru mapel Bahasa Arab dan Aqidah Akhlaq di MA Assalafiyyah Mlangi

Kategori
Artikel

Peran Siswa MA Assalafiyyah dalam Menghadapi era Society 5.0

Peran Siswa MA Assalafiyyah dalam Menghadapi era Society 5.0

Oleh : Mishbakhul Munir, S.Ag.

Kemajuan zaman melalui inovasi sains dan teknologi sangat luar biasa, seperti meningkatnya daya komputasi. Hal ini sangat memberikan pengaruh pada tatanan kehidupan kita. Jika melihat perkembangan peradaban manusia. Semuanya di mulai dari society 1.0, di mana manusia menghabiskan waktu untuk berburu dan berpindah-pindah tempat melalui peralatan sederhana dan kekuatan alam yaitu api. Kemudian society 2.0 manusia mampu mengolah tanah untuk menumbuhkan makanan dan menjinakkan hewan liar (domistikasi) untuk kepentingan mereka. Pada era selanjutnya populasi manusia semakin banyak, kebutuhan sandang pangan dan papan juga semakin banyak, sementara kemampuan manusia masih terbatas. maka muncul revolusi industri di inggris pada abad 18 yang mengubah industri produksi kebutuhan semakin besar. inilah yang disebut sebagai society 3.0. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia memasuki era di mana akses informasi semakin cepat yaitu society 4.0. Jarak ruang dan waktu antar manusia seakan hilang, data yang sebelumnya berupa fisik berubah menjadi digital dan dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Sistem ekonomi, pendidikan, dan lainnya pun bergeser pada ranah digital, sehingga mengalami disrupsi sangat cepat, seperti belanja di mall berganti shopee, pendidikan luring menjadi daring, bahkan silaturrahmi lebaran melalui daring. Lalu, apakah selanjtnya yang akan terjadi?

Pada tahun 2016, kabinet jepang dalam rencana dasar sains dan teknologi ke-5 mengusulkan bentuk society 5.0 dengan menciptakan “masyarakat super cerdas” yang kemudian diperkenalkan pada tahun 2019. Society 5.0 sendiri dibuat sebagai bentuk antisipasi akibat gejolak disrupsi dari revolusi industry 4.0 yang menyebabkan ketidakpastian yang komplek dan ambigu dari arus globalisasi. Society 5.0 merupakan bentuk masyarakat yang terhubung langsung oleh teknologi digital yang hadir secara rinci dengan berbagai kebutuhan masyarakat itu sendiri, misalnya penerapan drone untuk mengirim barang, peralatan rumah tangga dengan basis kecerdasan buatan (AI), pengoptimalan pertanian dengan otomatisai data prediksi cuaca, data air sungai dan lainnya.

Semua hal tersebut menjadi peluang, namun juga dapat menjadi ancaman, khususnya pada kita sebagai generasi melenial. Sebagai contoh, Ketika perkembangan teknologi semakin pesat, tentu banyak aktifitas manusia yang dapat digantikan oleh teknologi. Lalu pertanyaannya, apakah kita sudah siap terhadap hal tersebut?

Tentunya bagi mereka yang mengenyam pendidikan industri seperti Sekolah Menengah Kejurusan (SMK), mempunyai peluang yang lebih untuk meningkatkan kemampuannya di bidang teknologi informasi, jauh seperti kita yang menempuh pendidikan atas dasar pengembangan keilmuan itu sendiri. Namun, walaupun demikian, bukan berarti kita tidak memiliki peluang sama sekali, justru peluang kita sebagai siswa yang yang penempuh Pendidikan keagamaan, lebih besar dari pada mereka. Mengapa demikian? sebab pendidikan yang berorientasi pada industri, akan mengalami perubahan kedepannya, lebih-lebih ketika melihat sejarah yang notabene terjadi krisis setiap 10 tahun, membuat revolusi dalam bidang bisnis maupun industri. Untuk sederhananya bisa dikatakan kalau pendidikan industri harus selalu siap terhadap revolusi dan mampu mengikuti disrupsi yang terjadi.

Hal tersebut berbeda dengan kita yang menempuh pendidikan yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan khususnya keagamaan. Sebab pada prinsipnya, kemajuan keagamaan tidak dengan cara kita kembangkan, namun dengan memegang teguh prinsip aturan agama, lalu dapat disajikan dengan kondisi yang senantiasa berubah. Misalnya, kita tidak dituntut mengubah praktik riba dari haram menjadi boleh (mubah), namun kita hanya mempertahankan agar praktik riba tidak dijalankan dengan berbagai bentuk dan model. Hal tersebut sebenarnya cukup dengan kita mengetahui dasar-dasar riba, lalu memberikan altertatif transaksi agar tidak mengandung unsur riba, memalui materi pelajaran umum seperti ekonomi atau gografi dan ekonomi (dalam bahasa post-modernisme disebut sebagai geokonomi). Lalu, Ketika sudah diterapkan smart city ala society 5.0 dimana dan bagaimana peran kita?

Sebelum penulis jelaskan lebih lanjut, mungkin sedikit penulis membertiakn gambaran umum konsep ekonomi islam (lebihtepatnya Mu’amalah atau interaksi social) prinsipnya adalah Tabadul al-Manafi’ wa Tahqiq al-Ta’awun, artinya segala hal interaksi (baik baik bisnis mapun bukan) semuanya harus mengandung hubungan timbal balik (symbiosis) yang beroientasi pada kemanfaatan dan terwujudnya hubungan saling tolong menolong. Dalam kitab klasik hal tersebut digambarkan dengan “jika seseorang diberi anugrah kekuatan fisik, maka hendaknya ia membajak sawah, jika seseorang tidak mempunya fisik yang kuat, namun ia diberi ilmu pengetahuan pertanian, maka ia bisa bekerja sebagai petani, jika seseorang tidak mempunyai ilmu pertanian, ia bekerja dengan cara membeli hasil tanaman dari si petani lalu di jual kepada orang yang membutukan”. Nah, dari sini kita dapat menggabarkan bahwa mereka parah tokoh imuan murni, adalah orang-orang mempunyai ladang. Lalu, lalu para tokoh industry adalah sebagai eksekutor, dan mereka yang membutuhkan produk adalah konsumen. Lalu, di mana posisi kita sebagai siswa pesantren madrasah? Yang jelas jangan pernah menjadi konsumen mutlak, tapi jadilah ilmuan yang menciptakan ladang bagi mereka para pekerja industri.

Kita mempunyai dua potensi yang sangat besar yaitu, ilmu keagamaan dan ilmu social atau sains. jika kita bisa menguasai salah satunya atau bahkan keduanya sekaligus, akan membuat kita lebih mempunyai peran yang sangat besar. Misalnya kita sebagai orang yang lebih menguasai ilmu agama, kita dapat bekerja sama dengan mereka yang mempunyai skil bidang IT, untuk menyebarkan paham keagamaan kita yang lebih kuat, jika kita sebagi seorang yang mumpuni di bidang sains, kita dapat berkolaborasi dengan mereka yang dibekali dengan ilmu rekayasa untuk membuat sebuah produk yang lebih dibutuhkan dengan masyarakat, jika kita sebagai seseorang yang menguasai ilmu social, kita dapat menjadi konsultan atau membuat konsep strategi bisnis bagi peluaku bisnis. Sehingga, yang bekerja secara fisik bukan kita namun orang lain, dan kita hanya menanam (invest) ide atau pemikiran berupa konsep kepada orang lain, lalu mengontrolnya agar mendapatkan profit kedepannya, baik berupa jariyah ataupun value.

Namun, semuanya tidak mudah, semuanya butuh perjuangan, proses, dan kesabaran. Kita tidak bisa melakukan itu semua kalau hanya asyik dengan kenyamanan di masa sekarang. Tidak mau belajar, tidak mau menambah wawasan dan tidak meningkatkan skill. Dalam undang-undang santri, yakni kitab Ta’lim al-Mutaallim sudah dijelaskan bahwa :

تَمَنَّيْتَ اَنْ تُمْسِىَ فَقِيْهًا مُنَاظِرًا ۞ بِغَيْرِ عِنَــــاءٍ وَالْجُنُـــوْنُ فُـنُوْنُ
Kamu berharap menjadi ahli fiqih yang pandai berdiskusi dengan tanpa usaha, dan gila itu bermacam-macam.

Artinya, tidak sebatahs ahli fiqh (orang yang mumpuni dan menguasai ilmu fiqh) namun juga dapat diartikan sebagai orang yang mumpuni di pengetahuan sains dan social. Maka jika kita mengharapkan menjadi manusia yang mumpuni dan menguasai sains dan ilmu social (seperti sosiologi, ekonomi, antropologi, dll), lalu kita hanya terlena dengan kemajuan teknologi sekarang ini, maka kita tidak hanya dianggap bodoh, namun gila. Apakah kita mau menjadi orang gila? Haha….

Untuk itu, mungkin piwulang orang tua kita yang berbunyi “obah tanpo owah” (bergerak tanpa berubah) atau “angleres ilining banyu, angeli ananging ora keli” (mengikuti perkembangan zaman namun jangan terbawa oleh kemajuan zaman), adalah salah satu cara kita agar terus mempunyai memegang prinsip sebagai manusia yang focus mengembangkan ilmu pengetahuan (social atau sains) dan mempertahankan ajaran agama. Dan pada akhirnya sebagaimana pepatah “The Holder of The Wins” orang yang senantiasa bertahan atau memegang prinsip adalah pemenangnya. Juga sebagaimana sitiran bait alfiyyah “wa qoddim al-akhosso fi ittisholi wa qoddiman ma syi’ta fi al-infisholi” apa yang sudah kita punya itulah yang paling istimewa, bukan denga napa yang orang lain punya. Wallahu a’lam []