Memaknai Kembali Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW
Oleh: Lailatus Saadah, S.Hum
Masuknya Islam ke tanah Nusantara hingga berkembang di dataran Jawa tidak lepas dari kehadiran para pembesar Arab hingga Gujarat yang awalnya hanya bertujuan untuk berdagang. Agama yang dibawa para pembesar dan ulama ini bisa dikatakan berhasil mengajak para penduduk asli untuk masuk di dalamnya. Bahkan di tanah Jawa, para ulama yang menyebarkan Islam pertama-tama ini mendapat julukan tersendiri dari penduduk Nusantara yakni “Walisongo”. Meskipun jumlah para ulama yang ikut menyebarkan Islam di tanah Jawa ini lebih dari sembilan, namun masyarakat terlanjur familiar dengan ulama sembilan tersebut. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri), Raden Qasim alias Syarifuddin (Sunan Drajat), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Umar Said alias Raden Said (Sunan Muria).
Pada awal perkembangannya, Islam tidak begitu saja diterima oleh masyarakat Jawa. Islam sempat mendapat sentimen keras dari masyarakat yang mayoritas Hindu ini. Oleh karena itu, Walisongo memiliki cara pendekatan yang unik dalam menyebarkan Islam di wilayah Jawa. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga bahkan menjadikan budaya Jawa sebagai cara pendekatan khusus dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Justru melalui strategi ini banyak masyarakat Jawa yang tertarik untuk masuk Islam.
Hingga kini, budaya Jawa dengan segala macam pertunjukan dan hiburannya masih sering terkait dengan Islam. Bahkan Pigeaud mencatat ada beberapa pertunjukan yang sering diasosiasikan dengan kesalehan Islami, misalnya solawatan. Di dalam solawatan, narasi kehidupan Nabi Muhammad SAW didendangkan oleh kaum laki-laki baik dalam bahasa Arab atau Jawa dengan Iringan terbang (tamborin) tunggal tetapi dalam gaya Jawa. Seiring berkembangnya zaman, kaum hawa pun mulai vokal dalam mendendangkan solawatan baik di lingkungan pesantren maupun di lingkungan masyarakat yang diwadahi lembaga Islam khusus perempuan.
Di Selatan Jawa, perayaan maulid Nabi Muhammad SAW menjadi perayaan besar yang diselenggarakan beberapa hari dan dipimpin langsung oleh ndalem Keraton. Perayaan maulid ini sering disebut dengan sekatenan. Kata sekaten sendiri merupakan bentuk transformasi kalimat “syahadatain” yang diprakarsai oleh Sunan Kalijaga. Syahadatain yang artinya dua kalimat syahadat ini mengacu pada ajakan para Walisongo kepada masyarakat Jawa untuk masuk Islam dengan melafalkan dua kalimat syahadat (syahadat tauhid dan syahadat rasul).
Jika dahulu perayaan sekaten selalu diadakan dengan rangkaian acara besar di pusat alun-alun kota Yogyakarta, saat ini perayaan tersebut ditiadakan menimbang pandemi COVID-19 belum berakhir. Namun perayaan maulid Nabi Muhammad SAW akan selalu mengambil hati umat Islam dimanapun berada, meskipun dirayakan secara individu ataupun kelompok dengan jumlah peserta yang dibatasi. Meskipun begitu, perayaan maulid Nabi Muhammad SAW tetap mampu memompa semangat jiwa kaum muslimin agar selalu mengikuti teladan dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Terlebih lagi membangun semangat umat Islam baik lahir dan batin dalam menghadapi segala cobaan dan ujian di masa pandemi ini.
Asal Muasal Tradisi Peringatan Maulid Nabi
Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pernah didapuk sebagai hari besar Islam di Mesir pada masa Dinasti Fatimiyyah oleh Khalifah Mu’iz li Dinillah tahun 341 Hijriyah. Namun sempat dilarang oleh khalifah-khalifah setelahnya dan diadakan kembali secara besar-besaran pada masa khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630 M. Khalifah Mudhaffar mengadakan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW selama tujuh hari tujuh malam dengan menghidangkan jamuan besar dan mengundang para orator untuk menghidupkan kembali jiwa heroisme kaum muslimin yang pada saat itu sedang berperang melawan kekejaman Jengis Khan dari Mongol. Pada akhirnya semangat kaum muslimin kembali berkobar dalam memerangi pasukan Jengis Khan.
Tidak hanya pada masa Mudhaffar saja, bahwasannya perayaan maulid Nabi Muhammad SAW dijadikan sebagai cambuk semangat kaum muslimin untuk memerangi kekejaman kaum kafir. Pada masa Islam mendapat gempuran bertubi-tubi dari berbagai bangsa Eropa, yakni Prancis, Jerman, dan Inggris atau yang sering disebut dengan Perang Salib, di bawah kekhalifahan Salahuddin dari Bani Abbassiyah. Beliau menghimbau kepada seluruh umat Islam agar memperingati hari lahir Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW ini pun mampu mengobarkan semangat kaum muslimin untuk memerangi kaum kafir dan akhirnya memperoleh kemenangan besar.
Sultan Salahuddin juga menyelenggarakan beberapa kegiatan perayaan menyambut maulid Nabi Muhammad SAW. Salah satu kegiatan tersebut adalah dengan membuat sayembara penulisan riwayat Nabi Muhammad SAW beserta puji-pujian bagi Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan tata bahasa yang baik dan indah. Dalam perlombaan ini nama Syaikh Ja’far al-Barzanji keluar sebagai pemenang sayembara. Hingga kini, karya yang dikenal dengan Kitab Barzanji tersebut sering dibaca dan digaungkan pada pelaksanaan solawatan di masjid-masjid, musola, pesantren, bahkan di pelosok desa pada perayaan maulid Nabi Mauhammad SAW ataupun acara perayaan Islam lainnya.
*) Ibu Lailatus Saadah, S.Hum adalah guru mapel Bahasa Arab dan Aqidah Akhlaq di MA Assalafiyyah Mlangi