Kategori
Artikel

Peran Siswa MA Assalafiyyah dalam Menghadapi era Society 5.0

Peran Siswa MA Assalafiyyah dalam Menghadapi era Society 5.0

Oleh : Mishbakhul Munir, S.Ag.

Kemajuan zaman melalui inovasi sains dan teknologi sangat luar biasa, seperti meningkatnya daya komputasi. Hal ini sangat memberikan pengaruh pada tatanan kehidupan kita. Jika melihat perkembangan peradaban manusia. Semuanya di mulai dari society 1.0, di mana manusia menghabiskan waktu untuk berburu dan berpindah-pindah tempat melalui peralatan sederhana dan kekuatan alam yaitu api. Kemudian society 2.0 manusia mampu mengolah tanah untuk menumbuhkan makanan dan menjinakkan hewan liar (domistikasi) untuk kepentingan mereka. Pada era selanjutnya populasi manusia semakin banyak, kebutuhan sandang pangan dan papan juga semakin banyak, sementara kemampuan manusia masih terbatas. maka muncul revolusi industri di inggris pada abad 18 yang mengubah industri produksi kebutuhan semakin besar. inilah yang disebut sebagai society 3.0. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia memasuki era di mana akses informasi semakin cepat yaitu society 4.0. Jarak ruang dan waktu antar manusia seakan hilang, data yang sebelumnya berupa fisik berubah menjadi digital dan dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Sistem ekonomi, pendidikan, dan lainnya pun bergeser pada ranah digital, sehingga mengalami disrupsi sangat cepat, seperti belanja di mall berganti shopee, pendidikan luring menjadi daring, bahkan silaturrahmi lebaran melalui daring. Lalu, apakah selanjtnya yang akan terjadi?

Pada tahun 2016, kabinet jepang dalam rencana dasar sains dan teknologi ke-5 mengusulkan bentuk society 5.0 dengan menciptakan “masyarakat super cerdas” yang kemudian diperkenalkan pada tahun 2019. Society 5.0 sendiri dibuat sebagai bentuk antisipasi akibat gejolak disrupsi dari revolusi industry 4.0 yang menyebabkan ketidakpastian yang komplek dan ambigu dari arus globalisasi. Society 5.0 merupakan bentuk masyarakat yang terhubung langsung oleh teknologi digital yang hadir secara rinci dengan berbagai kebutuhan masyarakat itu sendiri, misalnya penerapan drone untuk mengirim barang, peralatan rumah tangga dengan basis kecerdasan buatan (AI), pengoptimalan pertanian dengan otomatisai data prediksi cuaca, data air sungai dan lainnya.

Semua hal tersebut menjadi peluang, namun juga dapat menjadi ancaman, khususnya pada kita sebagai generasi melenial. Sebagai contoh, Ketika perkembangan teknologi semakin pesat, tentu banyak aktifitas manusia yang dapat digantikan oleh teknologi. Lalu pertanyaannya, apakah kita sudah siap terhadap hal tersebut?

Tentunya bagi mereka yang mengenyam pendidikan industri seperti Sekolah Menengah Kejurusan (SMK), mempunyai peluang yang lebih untuk meningkatkan kemampuannya di bidang teknologi informasi, jauh seperti kita yang menempuh pendidikan atas dasar pengembangan keilmuan itu sendiri. Namun, walaupun demikian, bukan berarti kita tidak memiliki peluang sama sekali, justru peluang kita sebagai siswa yang yang penempuh Pendidikan keagamaan, lebih besar dari pada mereka. Mengapa demikian? sebab pendidikan yang berorientasi pada industri, akan mengalami perubahan kedepannya, lebih-lebih ketika melihat sejarah yang notabene terjadi krisis setiap 10 tahun, membuat revolusi dalam bidang bisnis maupun industri. Untuk sederhananya bisa dikatakan kalau pendidikan industri harus selalu siap terhadap revolusi dan mampu mengikuti disrupsi yang terjadi.

Hal tersebut berbeda dengan kita yang menempuh pendidikan yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan khususnya keagamaan. Sebab pada prinsipnya, kemajuan keagamaan tidak dengan cara kita kembangkan, namun dengan memegang teguh prinsip aturan agama, lalu dapat disajikan dengan kondisi yang senantiasa berubah. Misalnya, kita tidak dituntut mengubah praktik riba dari haram menjadi boleh (mubah), namun kita hanya mempertahankan agar praktik riba tidak dijalankan dengan berbagai bentuk dan model. Hal tersebut sebenarnya cukup dengan kita mengetahui dasar-dasar riba, lalu memberikan altertatif transaksi agar tidak mengandung unsur riba, memalui materi pelajaran umum seperti ekonomi atau gografi dan ekonomi (dalam bahasa post-modernisme disebut sebagai geokonomi). Lalu, Ketika sudah diterapkan smart city ala society 5.0 dimana dan bagaimana peran kita?

Sebelum penulis jelaskan lebih lanjut, mungkin sedikit penulis membertiakn gambaran umum konsep ekonomi islam (lebihtepatnya Mu’amalah atau interaksi social) prinsipnya adalah Tabadul al-Manafi’ wa Tahqiq al-Ta’awun, artinya segala hal interaksi (baik baik bisnis mapun bukan) semuanya harus mengandung hubungan timbal balik (symbiosis) yang beroientasi pada kemanfaatan dan terwujudnya hubungan saling tolong menolong. Dalam kitab klasik hal tersebut digambarkan dengan “jika seseorang diberi anugrah kekuatan fisik, maka hendaknya ia membajak sawah, jika seseorang tidak mempunya fisik yang kuat, namun ia diberi ilmu pengetahuan pertanian, maka ia bisa bekerja sebagai petani, jika seseorang tidak mempunyai ilmu pertanian, ia bekerja dengan cara membeli hasil tanaman dari si petani lalu di jual kepada orang yang membutukan”. Nah, dari sini kita dapat menggabarkan bahwa mereka parah tokoh imuan murni, adalah orang-orang mempunyai ladang. Lalu, lalu para tokoh industry adalah sebagai eksekutor, dan mereka yang membutuhkan produk adalah konsumen. Lalu, di mana posisi kita sebagai siswa pesantren madrasah? Yang jelas jangan pernah menjadi konsumen mutlak, tapi jadilah ilmuan yang menciptakan ladang bagi mereka para pekerja industri.

Kita mempunyai dua potensi yang sangat besar yaitu, ilmu keagamaan dan ilmu social atau sains. jika kita bisa menguasai salah satunya atau bahkan keduanya sekaligus, akan membuat kita lebih mempunyai peran yang sangat besar. Misalnya kita sebagai orang yang lebih menguasai ilmu agama, kita dapat bekerja sama dengan mereka yang mempunyai skil bidang IT, untuk menyebarkan paham keagamaan kita yang lebih kuat, jika kita sebagi seorang yang mumpuni di bidang sains, kita dapat berkolaborasi dengan mereka yang dibekali dengan ilmu rekayasa untuk membuat sebuah produk yang lebih dibutuhkan dengan masyarakat, jika kita sebagai seseorang yang menguasai ilmu social, kita dapat menjadi konsultan atau membuat konsep strategi bisnis bagi peluaku bisnis. Sehingga, yang bekerja secara fisik bukan kita namun orang lain, dan kita hanya menanam (invest) ide atau pemikiran berupa konsep kepada orang lain, lalu mengontrolnya agar mendapatkan profit kedepannya, baik berupa jariyah ataupun value.

Namun, semuanya tidak mudah, semuanya butuh perjuangan, proses, dan kesabaran. Kita tidak bisa melakukan itu semua kalau hanya asyik dengan kenyamanan di masa sekarang. Tidak mau belajar, tidak mau menambah wawasan dan tidak meningkatkan skill. Dalam undang-undang santri, yakni kitab Ta’lim al-Mutaallim sudah dijelaskan bahwa :

تَمَنَّيْتَ اَنْ تُمْسِىَ فَقِيْهًا مُنَاظِرًا ۞ بِغَيْرِ عِنَــــاءٍ وَالْجُنُـــوْنُ فُـنُوْنُ
Kamu berharap menjadi ahli fiqih yang pandai berdiskusi dengan tanpa usaha, dan gila itu bermacam-macam.

Artinya, tidak sebatahs ahli fiqh (orang yang mumpuni dan menguasai ilmu fiqh) namun juga dapat diartikan sebagai orang yang mumpuni di pengetahuan sains dan social. Maka jika kita mengharapkan menjadi manusia yang mumpuni dan menguasai sains dan ilmu social (seperti sosiologi, ekonomi, antropologi, dll), lalu kita hanya terlena dengan kemajuan teknologi sekarang ini, maka kita tidak hanya dianggap bodoh, namun gila. Apakah kita mau menjadi orang gila? Haha….

Untuk itu, mungkin piwulang orang tua kita yang berbunyi “obah tanpo owah” (bergerak tanpa berubah) atau “angleres ilining banyu, angeli ananging ora keli” (mengikuti perkembangan zaman namun jangan terbawa oleh kemajuan zaman), adalah salah satu cara kita agar terus mempunyai memegang prinsip sebagai manusia yang focus mengembangkan ilmu pengetahuan (social atau sains) dan mempertahankan ajaran agama. Dan pada akhirnya sebagaimana pepatah “The Holder of The Wins” orang yang senantiasa bertahan atau memegang prinsip adalah pemenangnya. Juga sebagaimana sitiran bait alfiyyah “wa qoddim al-akhosso fi ittisholi wa qoddiman ma syi’ta fi al-infisholi” apa yang sudah kita punya itulah yang paling istimewa, bukan denga napa yang orang lain punya. Wallahu a’lam []