Kategori
Majalah Digital

Bagaimana G30S/PKI Bisa Terjadi?

 

        Awal 1960-an, Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dengan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Konsep ini bertujuan menyatukan kekuatan politik yang berbeda-beda. Namun, dalam praktiknya justru sering menimbulkan gesekan. PKI (Partai Komunis Indonesia) semakin kuat dengan jutaan anggota, sementara Angkatan Darat merasa terancam karena pengaruh PKI yang semakin besar.

     PKI sering berseberangan dengan TNI Angkatan Darat, terutama dalam hal kebijakan pertanahan (reforma agraria) dan isu politik. PKI mendapat dukungan dari rakyat kecil dan petani, sedangkan Angkatan Darat lebih dekat dengan kelompok agama dan nasionalis. Persaingan ini menciptakan ketegangan tinggi.

    Indonesia saat itu mengalami inflasi yang sangat tinggi, harga-harga melambung, dan kesejahteraan rakyat menurun. Situasi ini dimanfaatkan oleh kelompok politik untuk saling menyalahkan dan berebut pengaruh. Presiden Soekarno memiliki kedekatan dengan PKI dan sering memberi mereka ruang politik. Misalnya, PKI mendukung gagasan ‘Angkatan Kelima’ yaitu persenjataan bagi buruh dan tani. Ide ini ditolak Angkatan Darat karena dianggap mengancam posisi mereka.

     Dalam situasi politik yang panas itu, pada malam 30 September 1965 muncul gerakan bersenjata yang menculik dan membunuh enam jenderal serta satu perwira menengah Angkatan Darat. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai G30S.

     Setelah peristiwa itu, Angkatan Darat di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto bergerak cepat dan menuduh PKI sebagai dalang. Tuduhan ini diperkuat dengan propaganda melalui media dan film. Akibatnya, PKI dibubarkan dan anggotanya ditumpas di seluruh Indonesia.

     Jadi, G30S/PKI bisa terjadi karena campuran antara persaingan politik, konflik ideologi, kondisi ekonomi yang buruk, serta perebutan pengaruh antara PKI, Angkatan Darat, dan Presiden Soekarno. Peristiwa itu menjadi titik balik yang mengubah arah politik Indonesia secara drastis.

Timeline Menuju Peristiwa G30S/PKI

  •   1960: Presiden Soekarno memperkuat konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) untuk menyatukan kekuatan politik.
  •   1962: PKI semakin berkembang dengan jutaan anggota, menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia.
  •   1963: Ketegangan antara PKI dan Angkatan Darat makin meningkat karena perbedaan pandangan politik.
  •   1964: Kondisi ekonomi memburuk, inflasi mencapai ratusan persen, harga kebutuhan pokok melambung.
  •   Awal 1965: PKI mendukung gagasan ‘Angkatan Kelima’ yaitu buruh dan tani dipersenjatai. Angkatan Darat menolak keras.
  •   30 September 1965: Gerakan 30 September menculik dan membunuh enam jenderal dan satu perwira menengah Angkatan Darat.
  •   1 Oktober 1965: Angkatan Darat di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kendali dan menuding PKI sebagai dalang.
  •   1966: Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberi wewenang besar pada Soeharto.
  •   1967-1968: Soeharto resmi menggantikan Soekarno sebagai Presiden kedua Republik Indonesia.

Tragedi G30S/PKI: Lembaran Kelam dalam Sejarah Indonesia

   Pada akhir September 1965, Indonesia diguncang oleh sebuah peristiwa yang sampai sekarang masih menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah bangsa, yaitu Gerakan 30 September atau yang biasa disingkat G30S/PKI. Malam itu, tepatnya 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, sekelompok pasukan bersenjata melakukan penculikan terhadap sejumlah jenderal Angkatan Darat. Tujuh perwira kemudian tewas, dan jasad mereka ditemukan di sebuah sumur tua di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

    Kejadian itu tidak muncul begitu saja. Pada awal 1960-an, suasana politik Indonesia memang penuh ketegangan. Presiden Soekarno mencoba menyatukan berbagai kekuatan dengan konsep Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Salah satu partai yang cukup kuat saat itu adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI memiliki jutaan anggota dan simpatisan, serta dikenal sebagai salah satu partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Namun, hubungan PKI dengan Angkatan Darat sering kali panas karena perbedaan ideologi dan kepentingan.

    Dalam situasi inilah tragedi itu terjadi. Pada malam 30 September, pasukan Gerakan 30 September menculik beberapa jenderal Angkatan Darat. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Mayor Jenderal D.I. Panjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, serta Lettu Pierre Tendean. Para korban dibawa ke Lubang Buaya dan kemudian dibunuh. Penemuan jenazah mereka pada 3 Oktober membuat masyarakat Indonesia gempar.

    Sejak saat itu, Angkatan Darat yang dipimpin Mayor Jenderal Soeharto bergerak cepat. Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Kostrad, mengambil alih kendali dan menuduh PKI sebagai dalang di balik gerakan ini. Melalui media, tuduhan itu menyebar luas. PKI kemudian dinyatakan terlarang, dan anggotanya diburu di berbagai daerah.

    Dampak dari tuduhan itu sangat besar. Dalam waktu singkat, terjadilah penangkapan besar-besaran dan kekerasan yang menewaskan ratusan ribu orang di berbagai wilayah Indonesia. Ada yang dibunuh, ada pula yang ditahan bertahun-tahun tanpa pengadilan. Ribuan orang bahkan dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik. Gelombang penumpasan itu meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat.

  Selain menimbulkan korban jiwa, peristiwa G30S/PKI juga membawa perubahan besar dalam pemerintahan. Posisi Presiden Soekarno melemah, sementara Soeharto justru semakin kuat. Pada 11 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk menjaga keamanan negara. Surat inilah yang kemudian menjadi pintu masuk bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan. Hanya dalam waktu singkat, Soeharto naik menjadi Pejabat Presiden pada 1967 dan resmi menjadi Presiden kedua Indonesia pada 1968.

    Sejak saat itu, dimulailah era Orde Baru. Selama lebih dari 30 tahun, narasi resmi tentang G30S/PKI dibentuk dan disebarluaskan oleh pemerintah. Buku pelajaran, media, hingga film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ digunakan untuk menanamkan pemahaman bahwa PKI adalah dalang tunggal peristiwa tersebut. Generasi muda kala itu tumbuh dengan keyakinan yang sama, karena setiap tahun diwajibkan menonton film tersebut di sekolah maupun televisi nasional.

    Namun, setelah Reformasi 1998, cerita tentang G30S/PKI mulai diperdebatkan kembali. Sejumlah sejarawan dan peneliti mencoba membuka arsip dan meneliti ulang. Ada yang berpendapat bahwa peristiwa itu tidak sepenuhnya dilakukan PKI, melainkan ada konflik internal militer atau bahkan campur tangan asing. Walau begitu, hingga sekarang belum ada bukti yang benar-benar pasti mengenai siapa dalang sesungguhnya. Yang jelas, tragedi 1965 ini membawa dampak yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Tidak hanya menewaskan banyak orang, tetapi juga mengubah arah politik negara. Dari sinilah lahir Orde Baru yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade.

    Bagi pelajar masa kini, memahami G30S/PKI penting bukan hanya untuk mengingat nama tokoh atau tanggal kejadian, tetapi juga untuk mengambil pelajaran dari sejarah. Tragedi itu menunjukkan bahwa perebutan kekuasaan dan perbedaan ideologi bisa berujung pada pertumpahan darah. Dengan belajar sejarah, kita bisa lebih menghargai arti persatuan dan mencari jalan damai dalam menyelesaikan perbedaan.

 

penulis : Lutfhi Hendrawan